BERITA TREN – Kabar terbaru menyebut Negeri Sakura dilanda kekhawatiran terancam punah, populasi di Jepang saat ini hanya dibawah 125 juta, menurut data resmi. Karena generasi muda di sana enggan punya anak, resesi seks dipersalahkan.
Resesi seks di kalangan generasi muda penyebab mereka enggan punya anak, berdampak tingkat kelahiran di Jepang menurun drastis, dari catatan demografi yang ada hanya mencapai 800 ribu di tahun 2022.
Tak hanya menyebabkan depresi ekonomi bagi negara dan banyak sekolah tutup, resesi seks yang menyebabkan generasi muda di Jepang enggan mempunyai keturunan ini juga akan berimbas pada masalah-masalah serius lainnya di berbagai sektor.
Untuk mengubah anjloknya angka kelahiran, pemerintah Jepang telah menjanjikan lebih banyak bantuan keuangan untuk melahirkan dan membesarkan anak. Tapi banyak orang tua mengatakan biaya hidup memiliki anak masih terlalu mahal.
Harjanto mantan pekerja migran Indonesia di Jepang sumber BeritaTren.com memaparkan, faktor yang mempengaruhi resesi seks di Jepang, antara lain, biaya hidup mahal, wanita Jepang lebih fokus pendidikan dan karir, dan akses kontrasepsi mudah.
“Wanita Jepang sekarang lebih memilih punya sedikit anak atau bahkan tidak memiliki anak sama sekali alias childfree,” ungkap Harjanto di Bandar Lampung, pada Minggu (14/05/2023).
Dia menegaskan, bahwa wanita Jepang sekarang tidak tertarik untuk menjadi orang tua, alasannya jelas, gak mau ribet, biaya tinggi dan kecemasan tentang masa depan Jepang.
Ketika ditanya soal libido seks orang Jepang, pria yang masih bertahan lajang ini nyengir sembari menggelengkan kepala, “Sebenarnya sih gak tepat itu istilah resesi seks,” katanya sambil menghisap rokok yang terselip di bibirnya.
Laporan demografi Jepang mencatat, rekor kelahiran terendah selama enam tahun terakhir terjadi pada 2021, jumlahnya hanya 811.622, terendah sejak pencatatan dimulai pada 1899.
Penurunan ini terjadi lebih cepat dari perkiraan. Sebelumnya, pada tahun 2017 National Institution of Population and Social Security memproyeksikan kelahiran di Jepang tidak akan turun di bawah 800 ribu hingga tahun 2030.
Depopulasi ini lebih dipicu lagi dengan terjadinya peristiwa di pembangkit nuklir Fukushima Dai-ichi pada 11 Maret 2011 lalu.
Baca Juga: CEO Google Peringatkan Risiko dan Pentingnya Regulasi AI Untuk Kesesuaian Nilai-nilai Kemanusiaan
Fenomena penutupan sekolah-sekolah di Jepang karena kekurangan murid menjadi berita tak mengejutkan, sunyinya kawasan pendidikan ini menjadi pukulan telak bagi pejabat yang sedang berkuasa.
Data terbaru pemerintah menyebutkan, sekitar 450 sekolah tutup setiap tahunnya. Sepanjang tahun 2002 hingga 2020, hampir 9.000 sekolah tutup pintu selamanya.
Untuk mengatasi depopulasi ini pemerintah Jepang telah merilis sejumlah kebijakan. Perdana Menteri Fumio Kishida menjanjikan langkah-langkah untuk meningkatkan angka kelahiran, termasuk meningkatkan anggaran untuk kebijakan terkait anak.
Tetapi Profesor Sosiologi di Universitas Chukyo, Matsuda Shigeki mengatakan, dorongan resmi dari pemerintah untuk memiliki banyak anak tersebut hanya berdampak kecil.
Dari survei tahun 2021 terhadap 5.800 responden pasangan menikah, diperoleh input bahwa mereka sebenarnya menginginkan lebih banyak anak daripada yang mereka rencanakan, namun mereka akhirnya mengurungkannya karena alasan ekonomi.
Baca Juga: Panduan Terbaru untuk Perjalanan Umrah ke Arab Saudi pada Bulan Ramadhan
Tren penurunan gairah pasangan untuk melakukan hubungan seksual atau resesi seks ini mulai menggejala di sejumlah negara, tak hanya Jepang, fenomena ini juga menjangkiti Korea Selatan, Singapura, beberapa negara Eropa, bahkan negeri China.
China yang selama ini merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia juga dilanda ancaman resesi seks. Sehingga membuat pemerintah melepas kebijakan memperbolehkan pasangan memiliki tiga anak yang diberlakukan sejak Mei 2021.
Ini sangat bertolak belakang dengan ketentuan sebelumnya, selama ini China mengontrol ketat jumlah penduduknya dengan hanya mengijinkan satu keluarga memiliki dua anak.
Di Korea Selatan bahkan sudah muncul persatuan wanita yang menolak dominasi kaum laki-laki (patriarkal), mereka bersumpah untuk tidak menikah. Lebih parahnya, mereka bahkan berjanji tak mau punya anak, berkencan, dan berhubungan seksual.
Baca Juga: Awal Mula White Day, Perayaan Balasan Hari Valentin di Jepang yang Kini Mendunia
Resesi seks yang mengarah pada childfree ini muncul sebagai dampak dari berbagai persoalan. Di Amerika Serikat fenomena ini muncul sejak 2012, The Washington Post menyebut dengan istilah ”Kekeringan Seks Amerika Serikat”.
Kelompok lain menyebut ini lebih halus sebagai “budaya hati-hati”. Ini merujuk pada perilaku orang-orang yang tidak tertarik untuk berkencan dan menunda pernikahan.
Christine Whelan, Direktur Inisiatif Uang, Hubungan dan Kesetaraan di Sekolah Ekologi Manusia di University of Wisconsin, Madison, percaya ketergantungan smartphone juga adalah penyebab. Ponsel pintar dianggap mengurangi keintiman antar pasangan.
Pandemi Covid-19 juga dituding menjadi biang keladi penyebab tertundanya rencana pasangan untuk menikah dan melahirkan phobia menjadi orang tua. Tak hanya itu, perubahan iklim (climate change) juga dikatakan memperburuk fenomena ini.
Yang menarik, beberapa ahli mengaitkannya dengan fakta generasi milenial yang berurusan dengan utang pinjaman yang terus meningkat. Ini realitas ekonomi mereka yang jauh lebih buruk dibanding generasi sebelumnya seusia mereka.
Pertanyaan besar berikutnya adalah, apakah resesi seksual juga sudah mulai berkembang di Indonesia? Belum ada data atau entitas yang membuat pernyataan soal itu. ***