BERITA TREN – Merapi berguncang, awan panas, abu vulkanik dan lava telah dimuntahkan sejak hari sabtu, 11 Maret 2023, namun Raja Jogja mengatakan jika Merapi tidak akan meletus.
Ungkapan tersebut mengingatkan kita pada sosok Mbah Maridjan, Sang Penunggu Merapi yang akhir hidupnya tetap ia abdikan dalam kesetiaan terhadap Pemimpinya meskipun nyawa menjadi taruhan.
Tahun 2010 menjadi akhir tugasnya sebagai juru kunci Merapi, intruksi dari Pemerintah dan Keraton Yogyakarta untuk segera mengungsi ia abaikan, karena tekadnya untuk selalu memegang amanah dari mendiang Sri Sultan HB IX.
Kali ini tim BeritaTren.com akan berbagi kenangan akan nilai-nilai moral dari sosok Mbah Maridjan, pengabdian, kesetiaan dan ketabahan dalam menjalankan tugasnya sebagai juru kunci Merapi.
Dilansir dari tulisan Prof.H. Mudjia Rahardjo, M.Si di laman uin-malang.ac.id, jika sosok Mbah Maridjan mulai dikenal luas saat peristiwa erupsi Merapi tahun 2006.
Saat itu Pemerintah dan Keraton Yogyakarta menghimbau kepada masyarakat untuk mengungsi karena Badan Vulkanologi menetapkan Merapi berstatus Bahaya.
Namun Sang Guru Kunci enggan meninggalkan Merapi karena menurutnya Merapi tidak akan Meletus, dan perkiaanya terbukti benar.
Namun berbeda saat tahun 2010, Merapi kembali bergejolak himbauan untuk meninggalkan wilayah Merapi pun kembali tidak digubris oleh Mbah Maridjan, namun dirinya menyuruh masyarakat untuk patuh kepada Pemerintah dan segera mengungsi.
Hingga akhirnya Merapi benar-bener Meletus dan Mbah Maridjan bersama awan panas bersujud menghadap sang khalik untuk selamanya.
Keputusannya untuk tetap bertahan di Merapi bukan lah tanpa alasan, tetapi Sang Juru Kunci Merapi ingin tetap mengemban tugas sampai akhir hayatnya.
Amanah dari mendiang Sri Sultan HB IX untuk selalu berada di Merapi apapun kodisinya telah Mbah Maridjan tunaikan.
Karena Mbah Maridjan adalah abdi dalem Keraton Yogyakarta yang terpilih oleh Sang Raja untuk melanjutkan pengabdianya di Merapi.
Bagi Mbah Maridjan meninggalkan Merapi sama artinya dengan melepas kesetiaanya kepada pimpinanya.
Meski Sang Raja telah berpulang lebih dulu, ikatan batinnya tetap terpaut dengan pria berusia 83 tahun tersebut, bahkan Sri Sultan HB X pun tidak mampu menggantikan posisinya di hati dan pikiran Mbah Maridjan.
Mbah Maridjan mengambil sikap yang berbeda dengan pemerintah dan Keraton Yogyakarta, menjaga Merapi dalam menunaikan janjinya pada Sang Pemimpin.
Menurut Mudjia Raharjo “Mbah Maridjan bukan membangkang melainkan tawadu’ dan konsisten pada amanah yang pernah dia peroleh dari seseorang yang diakui sebagai pemimpin.***