BERITA TREN – Dalam dunia politik Indonesia, peranan Presiden Jokowi memang sangat luar biasa.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, Jokowi memiliki keahlian khusus dalam mengatur segala hal agar mencapai tujuan yang diinginkan, bahkan ketika situasinya keliru.
“Jokowi memiliki keahlian membangun opini pembelaan, meskipun dia dalam posisi yang keliru, tetapi mahir memutar situasi justru menjadi benar,“ kata Dedi saat dihubungi, Kamis (9/11).
Baca Juga: Netralitas Jokowi Harus Dibuktikan dengan Aturan yang Tegas
Pengaruh dan kekuasaan Presiden Jokowi begitu besar sehingga Prabowo kehilangan integritasnya sebagai seorang ksatria.
“Yang memprihatinkan, Prabowo yang seharusnya menjadi sosok ksatria justru terlibat dalam tindakan nepotisme ini,” tambah Dedi.
Kelompok orang terdekat Jokowi melakukan tindakan seenaknya dan mengabaikan aturan hukum karena mereka mendapat dukungan dari Presiden.
Hal ini membuat mereka terus tumbuh dalam keyakinan, meskipun secara terang-terangan melanggar konstitusi dan etika.
Baca Juga: Pakar Sarankan Langkah Tepat Atasi Krisis Demokrasi dan Konstitusi Pasca Putusan MKMK
Tidak hanya masalah intervensi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), Presiden juga membiarkan anak buahnya terlibat dalam kampanye politik.
Padahal, Presiden jelas-jelas menginstruksikan agar para pejabat bersikap netral.
”Dengan adanya anggota kabinet, Raja Juli Antoni, Bahlil Lahadalia, Budi Arie, dan lainnya dalam aktivitas kampanye Gibran, itu sudah jelas bahwa Presiden menjadi sumber masalah,” tandas Dedi.
Kepentingan Presiden yang diutamakan di atas segalanya membuat sulit untuk berharap bahwa beliau akan bersikap sebagai seorang negarawan yang memastikan kestabilan hukum dan politik di Indonesia.
Baca Juga: Ngototnya Politik Dinasti Tunjukkan Keluarga Jokowi Terlena Kekuasaan
Dedi juga mencontohkan kepongahan orang-orang terdekat Jokowi, seperti Anwar Usman, yang justru melawan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang mencopotnya dari jabatan Ketua MK.
Menurut Dedi, sikap pongah mantan Ketua MK Anwar Usman karena dia merasa percaya diri didukung Jokowi.
“Negara ini akan dianggap sebagai milik Jokowi ketika nepotisme dibiarkan tumbuh. Maka dari itu wajar jika Anwar Usman melawan, dia mendapat “jaminan” untung “menang”,” imbuh Dedi.
Dalam sebuah konferensi pers sebelumnya, Anwar Usman dengan santai mengaku tidak bersalah setelah melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi, dengan alasan yang terbukti membiarkan Mahkamah Konstitusi (MK) diintervensi oleh pihak luar dalam memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Baca Juga: Penurunan Elektabilitas Prabowo-Gibran Menunjukkan Ketidakpuasan dan Kekecewaan Rakyat
Merendahkan
Pembelaan Anwar Usman Justru Menghancurkan Citra dan Martabat Pribadinya
Menurut Direktur RISE Institute, Anang Zubaidy, pernyataan hakim konstitusi Anwar Usman dalam merespons putusan MK justru merendahkan martabat dan citranya sebagai seorang hakim.
“Artinya bentuk pembelaan diri yang disampaikan Anwar Usman itu bentuk pembelaan diri yang tidak perlu. Yang menurut hemat saya justru merendahkan citra dan martabat beliau,” terangnya.
Pernyataan itu dinilai Anang sebagai tidak tepat karena pelanggaran etik yang serius yang dilakukan Anwar Usman sudah terbukti dalam sidang MK.
“Itu kan pelanggaran berat. Kalau kemudian yang bersangkutan itu masih menganggap dirinya sebagai korban itu kan kurang pas, playing victim,” sambung Dosen Hukum Tata Negara FH UII Yogyakarta itu.
Menurut Anang, pernyataan Anwar Usman sebagai korban fitnah tidak sesuai dengan fakta.
Anwar Usman diketahui pernah mengenalkan dirinya sebagai Ketua MK dan bagian dari keluarga Jokowi.
“Hal itu seolah-olah menunjukkan bahwa ‘saya sebagai bagian dari keluarga istana’ yang membutuhkan pengakuan dari pihak lain,” tambahnya.
Baca Juga: Keputusan MKMK Kembalikan Eksistensi MK, Tetapi Sulit Memulihkan Krisis Konstitusi
Anang juga menyebut penggunaan kata fitnah yang digunakan oleh Anwar Usman tidak tepat.
Karena pelanggaran etik berat yang telah dilakukan Anwar Usman sudah terbukti di sidang MK.
“Kan kata fitnah itu harus dibuktikan kebenarannya. Mekanisme pembuktian itu ada di persidangan MKMK,” lanjutnya.
Anang juga mengakui bahwa putusan MK tidak memenuhi harapan publik yang menginginkan Anwar Usman dicopot dari jabatannya sebagai hakim konstitusi.
Baca Juga: Dinasti Politik Mengancam Demokrasi di Indonesia
“Saya pribadi juga kecewa dengan putusan MKMK, tapi itu kan sudah menjadi fakta hukum. Ya sudah kita terima. Masyarakat, saya berharap tidak terlalu memperpanjang masalah ini. Cukup kita fokus pada bagaimana mengawasi MK ke depan, supaya MK tetap bisa menjaga martabatnya,” pungkasnya.
(***)