BERITA TREN – Kisah para transmigran yang tersebar di banyak daerah di Indonesia, jarang kita dengar. Cerita suka duka yang perlu kita tahu, bagaimana kondisi mereka di daerah penempatan transmigrasi, seperti yang dialami anggota PATRI asal Klaten di Takengon, Aceh ini.
PATRI adalah wadah Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia, organisasi para transmigran bersama keluarganya, salah satu anggotanya adalah Nurhadi (27), warga transmigrasi di Takengon, Provinsi Aceh, asal dari Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Warga PATRI asal Klaten ini, menuturkan kisahnya kepada BeritaTren.com melalui jaringan telepon seluler, suka dukanya ikut program pemerintah, transmigrasi ke Aceh tahun 1982.
Baca Juga: Liburan di Lampung, Jangan Lupa Yuk Kunjungi Museum Transmigrasi! Pertama dan Satu-satunya di Dunia
“Awal kisahnya, agak lucu Mas,” kata Nurhadi, petani dari Kampung Jagong Jeget, daerah Takengon, Aceh Tengah, membuka cerita di ujung ponsel dengan BeritaTren.com, Sabtu (10/06/2023).
Saat itu Nurhadi masih berusia sekitar 10 tahun, ketika ikut orang tuanya berangkat transmigrasi ke Aceh.
“Cerita lucunya begini, Berawal tahun 1980, ada tetangga yang berangkat transmigrasi ke Lampung. Tapi, karena masih kecil waktu itu, saya tidak paham, entah lokasi Lampungnya dimana,” tutur Nurhadi.
Setahun kemudian, lanjut cerita Nurhadi, mereka pulang “tilik kampung” istilahnya, tentu dengan membawa cerita tentang keberhasilannya.
Baca Juga: Kapan Lebaran Idul Adha 2023? Inilah Jawabannya Versi SKB Pemerintah dan Muhammadiyah
Mendengar ada orang datang dari daerah trans, apalagi dulu adalah warga setempat, tentu hal ini menarik perhatian warga. Apalagi dibumbui cerita sukses. Salah satu yang tertarik adalah ibu dari Nurhadi kecil.
Menurut keterangan Nurhadi, sang ibunya lantas membujuk ayahnya untuk ikut program pemerintah, yaitu transmigrasi, tujuannya tentu ingin merubah nasib.
Sayang saat itu, bude Nurhadi (istri dari kakak ayah Nurhadi) tidak mengizinkan, alasannya karena ayah Nurhadi hanya dua bersaudara, mereka tidak mau berpisah.
Untuk diketahui, ini cerita dari para transmigran asal Jawa. Mereka berkeyakinan bahwa orang-orang Jawa yang belum pernah pergi keluar dari pulau Jawa, ke Sumatera atau ke Kalimantan misalnya, pasti akan ada rasa takut meninggalkan Jawa.
“Mereka pasti mengatakan, Lampung, Sumatera atau Kalimantan itu banyak macan dan ularnya,” kata Samiran transmigran di Lampung.
Mereka beranggapan di luar Jawa itu masih hutan belantara yang banyak hewan buasnya. Mereka tidak mengetahui, jika orang-orang Jawa yang dikenal ulet dan telaten serta berani prihatin itu mau datang, justru mereka yang akan menemukan harapan sukses.
Tahun 1980 mereka gagal berangkat. Pada tahun 1981, ada pemberangkatan transmigrasi lagi, kali ini dengan tujuan daerah penempatan transmigrasi Pematang Panggang, Sumatera Selatan.
Keluarga Nurhadi masih bersemangat ikut program perpindahan penduduk ini. Bersama beberapa tetangganya untuk kedua kalinya kembali mereka mendaftar transmigrasi.
Kali ini bude Nurhadi sudah membolehkan. Namun karena mendapat kabar bahwa daerah yang dituju adalah daerah pasang surut. Ayah Nurhadi memutuskan batal berangkat. Setelah itu tidak ada keinginan untuk ikut transmigrasi lagi.
Suatu hari, ayah Nurhadi pernah bercerita, bahwa dirinya mimpi berjalan jauh. Anehnya, dalam mimpi tersebut, kalau berjumpa orang disapa hanya tersenyum. Tidak bisa saling komunikasi.
Masih cerita petani muda asal Balang, Karanglo, Klaten Selatan ini kepada BeritaTren.com melalui telepon, “Hingga suatu malam, kami sekeluarga sedang menonton TV di rumah tetangga. Eeh, acaranya sedang menayangkan keberhasilan para transmigran sukses”.
Dalam siaran televisi tersebut diperlihatkan beberapa transmigran sukses dari daerah Sulawesi, ada yang naik haji, dan bertanam merica.
Pulang ke rumah, ibu Nurhadi lantas kembali membujuk suaminya. Ia bercerita dengan semangat dan mengajak ayah Nurhadi daftar transmigrasi lagi.
Keesokan harinya, untuk ketiga kalinya ayah Nurhadi mendaftar program transmigrasi.
“Tentu saja ini membuat jengkel petugas,” terang Nurhadi sambil tertawa.
Petugas saat itu memberitahu, bahwa info yang terbuka penempatan transmigrasi, lokasinya ada di Aceh. Masih dengan perasaan jengkel, petugas itu pun sampai membuka buku peta Atlas, memperlihatkan daerah Aceh.
“Ini sudah ada jalan sepur (kereta api), kalau tidak kerasan, bisa pulang. Ongkosnya Rp 35.000,” kata petugas, kenang Nurhadi.
Ayah Nurhadi menyangka ongkos pulang Rp 35.000 itu untuk satu keluarga. Ternyata itu biaya per orang. Sementara jumlah jiwa keluarga Nurhadi saat berangkat transmigrasi adalah 7 jiwa; kedua orang tuanya, 4 anak termasuk Nurhadi dan satu orang masih paman Nurhadi.
“Maklum angka segitu tahun itu 1982. Uang sejumlah itu sudah lumayan,” ujar Nurhadi.
Tahun 1982, keluarga Nurhadi bersama sekitar 100-an KK lainnya, berasal dari Klaten dan Wonogiri ikut program transmigrasi, mereka diterbangkan ke Bandar Aceh, dan ditempatkan di daerah Takengon, Aceh Tengah.
“Tiba di Banda Aceh, Ibu sempat bertanya kepada petugas. Apakah lokasinya masih jauh? Petugasnya menjawab, masih sehari semalam lagi. Ibu terdiam,” cerita Nurhadi.
Baca Juga: Mengenal Meugang, Tradisi Religius Turun Temurun di Aceh: Tradisi Makan Daging Bersama
“Ada cerita lucu lagi saat di transito Banda Aceh, ada pengumuman para transmigran harus beragama IsIam. Bagi yang tidak, boleh kembali. Saat itu, ibu sempat mengajak ayah, bagaimana kalau kita ngomong kita bukan muslim? supaya dipulangkan,” tambah Nurhadi.
“Ayah langsung menjawab, namamu saja Siti Aminah, kok mau mengaku bukan IsIam? Nanti kalau petugasnya marah, terus dikembalikan ke Jawa asal-asalan, kan repot,” terkekeh Nurhadi menceritakan obrolan konyol kedua orang tuanya saat itu.
Saat ini sebagai warga PATRI, dan mewakili para transmigran lainnya, khususnya yang berada di Takengon, Aceh. Nurhadi merasa lega dan bersyukur bisa ikut program transmigrasi pemerintah.
Lokasi yang dahulu jalannya berlumpur, jarak ke ibukota kecamatan 27 kilometer. Itu pun harus melewati hutan, karena lokasinya memang berada di tengah hutan.
“Melihat kondisinya saat itu, untuk bertahan rasanya tidak mungkin. Apalagi jika dibandingkan waktu masih di Jawa, kami kalau mau pusat kota Klaten hanya berjarak 2-3 km dari rumah, dengan kondisi jalan aspal baik,” di ujung telepon terdengar suara lirih Nurhadi.
Dulu, masih cerita Nurhadi, ayahnya jika hendak ke Takengon (kota kecamatan terdekat) harus berjalan kaki dahulu sejauh 27 km. baru naik bus 45 km lagi.
“Hal ini mengingatkan saat kejadian mimpi ayah di tahun 1981, terbukti. Waktu berjalan berjumpa orang setempat saling senyum kata ayah, tapi tidak saling berbicara,” terang Nurhadi.
Setelah 41 tahun, kenangan tersebut kita berbalik drastis. Nurhadi bersama para transmigran yang bertahan kini dapat meraih sukses.
“Rasa bangga sebagai transmigran itu disini Mas. Kecil-kecil dan jelek-jelek begini kami adalah pejuang di daerah. Kami berjuang mengisi kemerdekaan, mewujudkan kemakmuran negeri,” kata Nurhadi bangga.
Petani kopi, dari Kampung Jagong Jeget, Kecamatan Jagong Jeget, daerah Takengon Kabupaten Aceh Tengah itu mengungkapkan rasa syukur bahagianya kepada BeritaTren.com.
Daerah trans yang ia tempati ini, meskipun kondisinya berbukit, tidak datar seperti daerah asalnya di Balang, Karanglo, Klaten Selatan. Takengon termasuk kawasan subur.
Takengon merupakan kawasan daerah penghasil kopi Gayo Aceh yang terkenal.selain sebagai petani kopi, warga setempat juga menanam palawija dan berbagai sayuran.
Nurhadi menegaskan, jika mengingat suka duka masa itu, yang terasa hanya rasa syukur dan bahagia. Dan ketika ditanya apakah sering pulang ke Jawa? Ini jawabnya,
“Saya sudah biasa, sering pulang kampung, ke Klaten kampung leluhur saya. Apalagi dua anak saya kan semua sekolah di Jawa,” papar Nurhadi.
Baca Juga: Destinasi Wisata Pantai di Aceh yang Bakal Bikin Hari Kamu Memorable Banget, Total Ada 12 Pantai!
Terpisah, Ketua Umum DPP Perhimpunan Anak Transmigrasi Republik Indonesia (PATRI), Sunu Pramono Budi, atau yang biasa dikenal Hasprabu, kepada BeritaTren.com menyampaikan rasa bangganya terhadap warga PATRI seperti Nurhadi yang transmigrasi ke Aceh.
“Negara dan masyarakat Indonesia harus bangga dengan adanya program transmigrasi yang berisi para transmigran tangguh seperti keluarga Nurhadi dan rekan-rekannya. Tanpa mereka, belum tentu kita bisa seperti sekarang ini,” terang Hasprabu.
Hasprabu menerangkan, transmigran tak hanya berperan sebagai perekat bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, tetapi juga berkontribusi nyata turut mewujudkan ketahanan pangan nasional. ***