BERITA TREN – Bagi warga negara Indonesia yang kini memasuki usia matang, tentu tak asing dengan suara khas melengking Tedjo Sumarto, penyiar legendaris RRI dalam siaran acara Forum Negara Pancasila, program nasional yang disajikan setiap Minggu pagi jam 07.00.
Sosok penyiar Tedjo Sumarto dengan sapaannya yang familiar hadir setiap Minggu pagi sejak 1981 hingga 1999. Program Forum Negara Pancasila Radio Republik Indonesia (RRI) mengudara tak kurang dari 1000 edisi, tidak membosankan, aktual dan selalu ditunggu pendengarnya.
Tedjo Sumarto melalui program RRI bertajuk Forum Negara Pancasila, ia dikenal sebagai pengkhotbah Pancasila era pemerintahan Orde Baru zaman keemasan Presiden Soeharto. Penyiar yang satu ini mengumandangkan nilai-nilai Pancasila yang murni dan konsekuen.
Baca Juga: Demi Mendorong KUMKM Naik Kelas, Promedia Bangun Megaportal Sebagai Sarana Promosi
Penyiar kelahiran Solo, tahun 1923 ini mengudara bersama RRI membawakan siaran mimbar hukum Forum Negara Pancasila. Tak hanya lewat RRI, tapi juga di-relay di semua stasiun swasta di seluruh tanah air.
Dalam membawakan acara, Tedjo Sumarto jauh dari guyon. Semua jawaban haruslah serius. Selucu dan sekonyol apapun pertanyaan pemirsa, ia akan tetap datar.
“….Kali ini kita akan menjawab pertanyaan Saudara Beni dari Medan. Saudara Beni bertanya tentang apa hubungan antara sila ke-4 Pancasila dengan koperasi. Baik, saudara Beni, saya akan menjawab pertanyaan Anda…,” demikian pembawaan Tedjo Sumarto.
Bahasa santun dan tertata penyiar ini membuat kita tetap bertahan di depan radio.
Kini program semi-indoktrinasi dari radio RRI itu sudah tinggal kenangan, dan kenangan bagi sebagian orang penikmat saluran radio RRI yang dibawakan Tedjo Sumarto.
Tak hanya programnya yang tak ada karena ditutup pemerintah pada 1999, tetapi sang penyiar pun sudah tutup usia. MR. H. Tedjo Sumarto, SH meninggal dalam usia 97 tahun, pada pukul 05.30 WIB, Minggu (12/07/2020).
Era reformasi telah meminggirkan Pancasila dan memaksa semua program sosialisasi Pancasila untuk istirahat panjang.
Hal ini ditandai dengan pencabutan TAP MPR No II/1978 dan pembubaran Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) yang kental dengan program penanaman nilai Pancasila.
Siaran mimbar hukum bertajuk ‘Forum Negara Pancasila’ acara tak sengaja
Dilansir BeritaTren.com dari laman @histori.id berdasar pengakuan Tedjo Sumarto ia mengatakan, mimbar hukum ‘Forum Negara Pancasila’ bisa mengudara dari ketidaksengajaan. Berawal di tahun 1980, sejumlah alumni Akademi Penerangan mendatangi rumahnya.
Mereka mengutarakan pertemuan dengan Menteri Penerangan Ali Murtopo, yang meminta ada program penerangan politik, hukum, dan tatanegara melalui RRI yang disiarkan tiap pekan plus tak boleh kehabisan bahan.
Kawan-kawan Tedjo Sumarto itu tak ada yang menyanggupi permintaan itu, tapi kemudian membawanya ke Tedjo.
Tedjo menyanggupi. Teman-temannya lalu mengusulkan namanya kepada menteri. Persetujuan dan kesepakatan pun bersambut.
Tedjo menawarkan gagasan satu acara yang tak bergantung kepada kabinet. Ia berharap, acara yang akan mengudara itu tetap bertahan meski pemerintahan berganti.
“Selama negara ini berdasarkan Pancasila, Forum Negara Pancasila ini bisa berjalan terus,” katanya.
Februari 1981, Tedjo mendapatkan kesempatan siaran perdana. Tedjo siaran langsung pada pagi hari. Meski belum punya nama, acara tersebut terus mengudara saban Minggu setelah itu.
Belakangan, Tedjo kemudian memberi nama acara itu Forum Negara Pancasila (FNP).
Empat bulan berjalan, respons dari masyarakat pun mulai bermunculan, termasuk dari Presiden Soeharto yang menjadi salah satu pendengar setia sejak awal.
Selain senang, Soeharto juga menganjurkan kepada para menterinya agar menyediakan waktu untuk mendengar FNP.
“Karena dianjurkan setengah perintah, jadinya semua mengikuti,” ujar Tedjo sambil terkekeh.
Efektivitas FNP dalam mengkampanyekan Indonesia negara hukum dirasakan benar oleh negara, pemerintah akhirnya memanfaatkan betul acara tersebut.
Menteri Penerangan Harmoko, yang menggantikan Ali Murtopo, kemudian menerbitkan SK Menpen No.226/1984 yang berisi perintah agar semua radio siaran swasta Indonesia wajib merelay acara Forum Negara Pancasila.
Mengingatkan, saat itu pemerintah Orde Baru tengah menggaungkan kampanye ‘memasyarakatkan Pancasila dan mem-Pancasila-kan masyarakat’.
Menyusul kemudian, Pemerintah membentuk berbagai lembaga seperti P-7 dan BP-7 (Badan Pengawas Pelaksanaan Pengarahan untuk Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) selaku pengawasnya.
Tedjo Sumarto adalah seorang manggala tingkat nasional. Oleh karena itu, dia menjadi narasumber BP-7 pusat untuk mengisi penataran P-4 di berbagai tempat.
Kesibukan Tedjo Sumarto pun bertambah karena harus membagi waktu untuk FNP dengan beragam kegiatan lainnya seperti mengajar di sejumlah kampus, narasumber seminar, dan lain sebagainya.
Berkat siaran Forum Negara Pancasila, Tedjo Sumarto banyak memperoleh penghargaan dari pemerintah. Diantaranya, Bintang Mahaputra dan Cincin Ananta Kupa, yaitu Penghargaan tertinggi dari Departemen Penerangan RI.
Penghargaan tersebut justru menjadi klimaks bagi seorang Tedjo Sumarto. Tumbangnya rezim Orde Baru ikut mempengaruhi nasib program Forum Negara Pancasila.
Pada tahun 1999, Tedjo Sumarto menerima surat pemberitahuan dari RRI bahwa siaran Forum Negara Pancasila dihentikan sementara sambil menunggu wadah baru.
Alih-alih mendapatkan wadah baru, Departemen Penerangan yang menjadi tempat bernaung Forum Nasional Pancasila malah “masuk liang kubur” ini terjadi semasa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Kini, sosialisasi Pancasila di media, baik elektronik, massa maupun sosial juga tidak terdengar gaungnya lagi. Kalaupun ada hanya sebatas artikel yang dimuat di media mainstream atau local. Media elektronik justru nyaris vakum tak terdengar sama sekali.
Beruntung di jejaring sosial masih ditemukan menggeliat, meski hanya dikelola oleh organisasi yang peduli pada Pancasila atau pribadi yang konsen dengan dasar Negara.
Terlepas dari pro kontra perlu tidaknya lembaga khusus, namun semua pihak sepakat bahwa sosialisasi nilai-nilai Pancasila harus tetap dijalankan.
Ini penting dilakukan agar nilai dasar Negara yang menjadi nilai luhur bangsa tetap dapat dipahami dan dilestarikan. Bagaimanapun penyelenggara Negara berkewajiban untuk terus memupuk nilai Pancasila khususnya di kalangan generasi muda.
Apalagi dunia di era globalisasi sudah berubah total. Teknologi internet sudah mendunia dan membuat segala sesuatu menjadi transparans dan terbuka. Tak ada filter yang mampu menahan masuknya berbagai pemikiran, paham dan budaya melalui media sosial.
Tetapi tak sedikit lapisan masyarakat yang apriori. Mereka mengkhawatirkan era doktrinasi Pancasila zaman Orde Baru akan berulang kembali.
Sebagian beranggapan tidak diperlukan karena sudah ada badan sosialisasi 4 Pilar yang selama ini dilaksanakan oleh MPR.
Sapaan hangat Tedjo Sumarto, “Selamat berjumpa kembali dalam acara Forum Negara Pancasila, bersama saya, Tedjo Sumarto Sarjana Hukum,” sudah berakhir.
Program nasional yang disiarkan RRI dan telah bertahan mengudara selama 18 tahun dengan 1000 edisi itu, telah hilang dari pendengaran kita. ***