BERITATREN – Sebuah keputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia minimal calon presiden/wakil presiden dianggap Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, sebagai ancaman terhadap kehidupan demokrasi.
Dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis (2/10), Dedi mengungkapkan bahwa putusan MK tersebut berpotensi memunculkan praktik politik dinasti dan nepotisme yang merusak tatanan bernegara.
Menurut Dedi, putusan MK membuka celah untuk nepotisme yang dapat berkembang subur. Lebih buruk lagi, MK dianggap telah merusak tatanan yudikatif negara.
“Demokrasi tentu terganggu, lahirnya politik dinasti, suburnya nepotisme,” katanya di Jakarta, Kamis (2/10).
Dedi berpendapat bahwa Ketua MK, Anwar Usman, layak dicopot dari jabatannya dan dijalani proses hukum.
Argumen Dedi didasarkan pada beberapa hal, yang menunjukkan adanya pelanggaran krusial dalam putusan MK tersebut.
Pertama, hakim yang memiliki hubungan langsung dengan materi gugatan seharusnya tidak boleh ikut dalam merumuskan keputusan. Kedua, MK tidak berwenang mengubah, menambah, atau mengurangi isi Undang-Undang.
Fungsi MK seharusnya hanya membatalkan UU dan mengembalikan keputusan hukum kepada DPR RI.
“Sehingga MK layak disebut merusak konstitusi, bahkan hakim yang ikut mengubah UU layak disebut kriminal,” tuturnya.
Sanksi Elektoral
Sementara itu, Peneliti Politik dan Kebijakan, Danis TS Wahidin, menyatakan bahwa masyarakat dapat memberikan sanksi elektoral terhadap kandidat yang bermasalah dan merusak.
“Kesalahan politik harus diluruskan dengan kebenaran politik. Masyarakatlah sekarang harapan satu-satunya hukuman elektoral dengan tidak memilih kandidat yang bermasalah,” ujar Danis.
Menurut Danis, putusan MK tersebut sarat dengan kepentingan yang memuluskan praktik nepotisme dalam keluarga Presiden Joko Widodo.
“Ada cacat hukum dalam pengambilan keputusan MK. Hakim-hakim membawa MK jauh ke ruang-ruang politik. Padahal MK dan DPR serta lembaga kepresidenan sejajar, tidak boleh saling intervensi,” sebut Danis.
Lebih lanjut, kehadiran Gibran sebagai calon wakil presiden juga dinilai sebagai dampak negatif dalam politik kaum muda.
“Hari ini kita sedang menghadapi era bonus demografi. Anak muda harus mulai dipercaya dan diberikan peluang mengisi jabatan-jabatan strategis, agar bonus demografi tidak berubah menjadi beban demografi. “ Kata Danis.
Namun, hal ini harus dilakukan dengan cara yang tepat dan aturan yang benar, berdasarkan prestasi bukan sebatas personalitas, serta dengan pendekatan demokrasi, bukan model oligarkis.
Anak muda juga harus diberikan pemahaman tentang pentingnya nilai-nilai keagamaan, nasionalisme, dan cinta tanah air.
Danis menambahkan bahwa meskipun Gibran terlihat memiliki dukungan yang kuat saat ini, masih akan ada rintangan di masa depan.
Munculnya sentimen negatif di masyarakat dapat memengaruhi elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran.
“Pengaruh elektabilitas Gibran terhadap Prabowo tidak terlalu signifikan, Pak Prabowo sudah memiliki elektabilitas bawaan sekitar 30-40%, Gibran hanya sekitar 2-10%,“ tandas Danis.(***)